BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran
merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung
segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentang tata cara kehidupan
kita dalam keseharian.
Dalam
kesempatan ini kami sebagai pemakalah akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang
berkenaan tentang masalah ibadah dan dua hal yang berlawanan tetapi satu sama
lain diantara keduanya tidak dapat dipisahkan yaitu masalah kebaikan dan
kejahatan, diantaranya adalah surah al-an’am ayat 160 dan 22, an-Nisa ayat 79,
Hud ayat 114 serta surah al-Hijr ayat 39-40, al-baqarah ayat 21, al a’raf ayat
172.
BAB II
TAFSIR
AYAT-AYAT TENTANG IBADAH, KEBAIKAN, DAN KEJAHATAN
A.
QS. Al-Baqarah : 21
Ayat
yang dimaksud yaitu:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
21. wahai manusia!
Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, supaya kamu terpelihara.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ “Wahai
manusia!” (pangkal ayat 21).
Kata
seruan kepada warga mekkah dan seluruh manusia yang telah dapat berfikir – اعْبُدُوا “sembahlah olehmu” dengan
bertauhid atau mengesakan - رَبَّكُمُ
الَّذِي
“ Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” –Dari yang tidak ada, kamu telah
diadakan dan hidup di atas bumi. – وَا
“Dan”diciptakan-Nya pula- قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa “. Artinya datang kedunia mendapat sawah
dan ladang, rumah tangga dan pusaka yang lain dari nenek moyang sehingga yang
datang kemudian hanya melanjutkan apa yang dicecang dan dilatih oleh orang tua.
Maka orang tua yang telah meninggalkan pusaka itupun Allah jualah yang
menciptakan mereka. Disuruh mengingatkan itu- “Supaya kamu terpelihara”. (ujung ayat 21).
Disuruh kamu mengingat itu untuk insaf
akan kedudukanmu dalam bumi ini. Dengan mengingat diri dan mengingat kejadian
nenek moyang bersambung ingatan yang sekarang dengan zaman lampau, supaya kelak
diwariskan lagi pada anak cucu, yaitu supaya selalu terpelihara atau dan
memelihara diri dan kemanusiaan, jangan jatuh martabat jadi bintang, yaitu
dengan jalan beribadat, berbakti dan menyembah kepada Tuhan, mensyukuri nikmat yang
telah dilimpahkanNya.
B.
QS. Al-A’raf : 172
Ayat
yang dimaksud yaitu:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ
تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
172.Dan ingatlah ketika Tuhanmuu mengeluarkan darii sulbi
anak cucu Adam keturunan mereka dan allah menggambil kesaksian terhadap roh
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab , “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada
hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika iitu kami lengah
terhadap ini,”
Dalam
ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan
dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah
menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyurh roh mereka untuk
menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya,
keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia
bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra dengan urat nadi dan system
urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada roh manusia
“bukankah aku ini Tuhanmu?” Maka menjawablah roh manusia , “Benar Engkaulah
Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban ini merupakan pengakuan roh
pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang
tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali dia.
C.
QS. Ar-Ruum : 30
Ayat
yang dimaksud yaitu:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
30.“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah).
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak ada yang mengetahui.”
D. QS.
Al-An’am : 160
Pada
suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa berpuasa tiga hari
pada tanggal purnama di setiap bulan, berarti dia telah berpuasa setahun
penuh”. Pada suatu ketika yang lain rasulullah SAW juga pernah
bersabda: “Shalat Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya adalah merupakan
tebusan dosa (kafarat), bahkan ditambah tiga hari sesudahnya”. Sehubungan
dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 160 dari surah al-An’am sebagai
dukungan dan membetulkan apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Ahmad,
Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Thabrani dari Hisyam bin Martsad dari Muhammad
bin Isma’il dari ayahnya dari Dhamdham bin Zar’ah dari Syuraih bin Ubaid dari
abi Malik al-Asy’ari)[1]
Ayat
yang dimaksud yaitu :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ
لَا يُظْلَمُونَ(160)
160. Barangsiapa membawa
amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).
Ayat
ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa
diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang
benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni
sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa
yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya,
tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan
sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan
kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh
hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja
mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi
mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.[2]
Ayat
ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang
siapa yang datang kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik,
maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan
barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah
tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah
setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas
dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar
bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat
murkanya Allah SWT.
E. QS.
An-Nisa : 79
Orang-orang
munafik apabila dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam
berkeluargabaik dari sisi sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan,
maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kalau
mereka mendapat musibah, baik dalam mencari rezeki maupun dalam keluarga selalu
menyalah-nyalahkan Rasulullah SAW. Muhammad sebagai penyebab datangnya musibah.
Hal itu mereka lakukan karena dalam lahiriyahnya mereka cinta dan tunduk kepada
Rasulullah SAW. Tetapi dalam batinnya sangat benci terhadap ajaran yang dibawa
Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-78 dan ke-79
dari surah an-Nisa sebagai ketegasan, bahwa semua itu datang dari Allah. Musibah
datang bukan karena mengikuti ajaran Muhammad, dan bukan pula Muhammad
penyebabnya. Tetapi atas kehendak Allah SWT, dimaksudkan sebagai ujian bagi
mereka. (HR. Abu Aliyah dari Suddi)[3]
Surah
an-Nisa ayat 79 yaitu :
مَا
أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ
نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا(79)
79. Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Ayat
ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat.
Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik
dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah
melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih,
dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui
perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar
meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa
saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua
manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan
anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau
wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari
kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi
Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan
dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan
seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena
terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa
engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan
cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat
diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya
terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari
Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini
kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan
kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah
tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih
yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal
sunnatullah ini.[4]
Setiap
kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia
dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
Ø Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam
arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan
aturan-aturan.
Ø Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan
dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya
disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan
pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan
keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari
dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar
yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab
mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan
yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti
sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat
mestinya.
“Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah
menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara
kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan
ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan
cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat
manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang
yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT.
F. QS. Hud :
114
Imam
Tarmidzi dan lain-lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits melalui Abu Yusr
yang telah menceritakan, aku kedatangan seorang wanita yang mau membuli buah
korma. Lalu aku katakan kepadanya, bahwa di dalam rumah terdapat buah-buah
korma yang lebih baik daripada yang di luar. Kemudian wanita itu masuk kedalam
rumah bersamaku, dan (sesampainya di dalam rumah) aku peluk dia dan kuciumi.
Setelah peristiwa itu aku menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua
kisah yang kualami itu kepadanya. Maka Nabi saw bersabda: “ Apakah
engkau berani berbuat khianat seperti itu terhadap istri seorang mujahid yang
sedang berjuang di jalan Allah ?”.selanjutnya Rasulullah menundukkan
kepalanya dalam waktu yang cukup lama hingga Allah menurunkan ayat ke 114 dari
surah Hud.[5]
Ayat
yang dimaksud yaitu :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ
وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ
ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
114. Dan Dirikanlah
sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.
Ayat
ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan
benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada
kedua tepi siang yakni pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan
Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib
dan Isya, dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat
menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat
kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni
perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka
ketaatan lain dapatmenghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni
perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa
besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun
secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yaknipetunjuk-petunjuk yang
disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya
itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya
dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping
mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang
telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh
yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi
dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.
Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat
45, yang artinya “ sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan
munkar ".[6]
Dalam
tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini
adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas
semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh,
shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup shalat
maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa bahwa
shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan maghrib.
Ayat
ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal saleh).
Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan (nasihat)
bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus
disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.[7]
G. QS.
Al-An’am : 22
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Dhahak dari Ibnu
Abbasmenceritakan bahwa ketika ayat ke-18 dari surat al-Mujaadilah yang
menegaskan tentang kehidupan di hari kiamat nanti diturunkan, orang-orang
munafik tidak bisa menerima kabar tersebut. Sehubungan dengan itu Allah
menurunkan ayat ke-22 – 25 sebagai ketegasan tentang keadaan mereka. Mereka
akan menerima akibat dari kedustaan mereka terhadap diri sendiri, yaitu
menganggap al-Quran hanya sebagai dongengan belaka.[8]
Ayat
yang dimaksud yaitu :
وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ
جَمِيعًا ثُمَّ نَقُولُ لِلَّذِينَ أَشْرَكُوا أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ
كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
22. Dan (ingatlah), hari
yang di waktu itu kami menghimpun mereka semuanya Kemudian kami
Berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu
yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?".
” Dan (ingatlah) hari yang di
waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya. “ Firman Allah ini
mengandung makna: dan ingatlah hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka.
“ Kemudian
Kami berkata kepada orang-orang musyrik, ‘Di manakah sembahan-sembahan kamu’.”
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan cemoohan, bukan pertanyaan untuk menuntut
jawaban, ……” yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) Kami ?” Yakni,
bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan pertolongan kepada kalian
disisi Allah, sesuai dengan dugaan kalian, dan bahwa mereka dapat mendekatkan
kalian kepada-Nya. Ini adalah celaan terhadap mereka. Ibnu Abbas berkata, “
Setiap kata za’m (dugaan) di dalam al-Quran, maknanya adalah kebohongan.”[9]
Kalaupun
di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, maka suatu ketika
pasti mereka akan menyesal, yakni pada hari kiamat nanti. Karena itu ingatlah,
kebohongan mereka terhadap Allah dalam kehidupan dunia ini, ingatlah itu
pada hari yang di waktu itu kami menghimpun mereka
semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik ahli al-kitab,
maupun kaum musyrik serta apa yang mereka sekutukan dengan Allah, seperti
berhala-berhala kemudian Kami melalui para malaikat berkata
kepada orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu,
baik berhala, manusia, maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja
: Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu kira dan
akui secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu Kami ? Mintalah
kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari siksa yang sedang dan
akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu lagi jauh dari yang
dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian.
Ayat
ini dapat juga dihubungkan dengan ayat terdahulu dengan menjadikan ayat ini
sebagai jawaban dari satu pertanyaan yang timbul dalam benak siapa yang
mendengar ayat terdahulu yang menyatakan bahwa tidak akan berbahagia
orang-orang yang zalim. Seakan-akan ada yang bertanya. Bagaimana
mereka tidak akan berbahagia ? pertanyaan ini dijawab : itu disebabkan karena
kelak di Hari Kemudian Allah akan menggiring mereka ke Padang Mahsyar dan akan
meminta pertanggung jawaban atas dosa-dosa mereka, khususnya menyangkut
persekutuan terhadap Allah.
Seperti
terbaca diatas, kata Jamii’an/semua mencakup penyembah dan
yang disembah selain Allah. Itu sebabnya lanjutan ayat menyatakan kemudian
Kami berkata kepada orang-orang musyrik, bukan menyatakan kami
berkata kepada mereka. Dihimpunnya para sembahan itu, untuk lebih
menampakkan kehinaan dan kerendahan serta ketidak berdayaan mereka, dan untuk
membuktikan bahwa walau sembahan-sembahan itu hadir dihadapan mereka, namun
mereka sedikitpun tidak dapat membantu, bahkan mereka akan berlepas diri dari
apa yang dilakukan sembahan-sembahan itu demikian juga para penyembahnya.
Kata Tsumma/kemudian pada
firman-Nya kemudian kami berkata pada orang-orang musyrik untuk
mengisyaratkan jarak waktu penantian yang cukup lama antara keberadaan
orang-orang musyrik dan sembahan mereka di padang mahsyar, dengan
perkataan/pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Jarak waktu penantian itu,
menjadikan mereka lebih gelisah, sekaligus menunjukkan betapa mereka tidak
diperhatikan bahkan diabaikan begitu lama, untuk lebih menghina dan melecehkan
mereka.
Kata Aina/di
mana, digunakan untuk menanyakan tempat sesuatu, sebagaimana digunakan
juga untuk menanyakan sesuatu walau tidak memiliki tempat, tetapi diharapkan
apa yang ditanyakan itu menjadi perhatian atau dikerjakan. Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, sembahan-sembahan mereka ikut dikumpulkan di padang
mahsyar. Jika demikian, pertanyyan tentang di mana pada ayat ini, bukanlah
pertanyaan tempat keberadaan mereka, tetapi tentang peranan mereka dalam
membantu para penyembahnya. Pertanyyan itu dimaksudkan sebagai kecaman dan
ejekan karena ketika itu sungguh jelas ketidakmampuan yang disembah menolong
siapa yang pernah menyembahnya.[10]
E. QS.
Al-Hijr : 39-40
Ayat
yang dimaksud yaitu :
قَالَ
رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ
وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِين(40)َ
39. Iblis berkata:
"Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku
akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan
pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya,
40. Kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis di antara mereka".
setelah
Allah menyampaikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya
hingga waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu
terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti
aku akan memperindah bagi mereka yakni menjadikan mereka memandang baik
perbuatan maksiat serta segala macam aktivitas di muka bumi yang mengalihkan
mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat
menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu
yang mukhlas diantara mereka, yakni yang engkau pilih karena mereka telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[11]
Allah
berfirman memberi tahu bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan
engkau telah menakdirkan aku tersesat, maka pasti aku akan menyesatkan anak
cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala perbuatan maksiat dan
mendorong mereka dengan segala tipu daya agar mereka menjauhi segala perintahmu
dan pasti aku akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali terhadap
beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala
petunjuk dan perintahmu.[12]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Surat
al-An’am ayat 160
Pada
ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah benar-benar maha adil, dimana Allah akan
selalu memberikan karunia-Nya kepada umatnya yang beribadah dengan dasar
keimanan dan ketulusan hati dengan memberikan ganjaran pahala sepuluh kali
lipat dari amal saleh yang telah dikerjakan, serta hanya memberikan ganjaran
yang sesuai dengan maksiat yang dikerjakakdikerjakan manusia.
2. Surat
an-Nisa ayat 79
Pada
ayat ini Allah menegaskan bahwa segala sesuatu kebaikan yang menimpa umat
manusia adalah secara mutlak dating dari Allah dan segala sesuatu yang buruk
yang menimpa manusia semata-mata karena perbuatan manusia itu sendiri.
3. Surat
Hud ayat 114
Pada
ayat ini dijelaskan bahwa segala amal saleh khususnya yang terdapat dalam ayat
ini yaitu shalat wajib yang lima waktu dapat menghapus dosa-dosa kecil, dan
apabila amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat
membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari
keburukan-keburukan.
4. Surat
al-An’am ayat 22
Pada
ayat ini Allah akan menunjukkan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah
semata kepada orang-orang yang telah menyekutukannya, dan juga membuktikan
bahwa apa yang dulu mereka sembah tidak akan bisa menolong mereka dari siksa
Allah SWT.
5. Surat
al-Hijr ayat 39-40
Pada
ayat ini disinggung bahwasanya manusia itu mempunyai dua poitensi, yaitu
potensi baik dan potensi keburukan. Iblis berusaha ingin memuncukan potensi
keburukan yang ada pada diri manusia agar manusia selalu berada di jalan
kemaksiatan, terkecuali manusia yang mampu menimbulkan potensi baiknya agar
terhindar dari segala macam tipu daya Iblis.
DAFTAR
PUSTAKA
Imam
Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin
berikut asbabun nuzul jilid 1,bandung: sinar baru al-gensindo,2004,hlm.11
Abdullah
yusuf ali, Qur’an dan terjemahan
tafsirnya(juz I s/d XV, Jakarta: Pustaka firdaus,1993,hlm 201-393
Hamka,
Prof , DR , Tafsir Al-Azhar,juzu’ 1-2-3,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hlm 146-148
Hamka,
Prof , DR , Tafsir Al-Azhar,juzu’
21-22-32, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hlm 76-81
M.Quraish Shihab, Tafsir
Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera
hati, 2002,hlm.366-372
[1] A. Mudjab Mahali, ASBABUN NUZUL: Studi
Pendalaman al-Quran surat al-Baqarah – an-Nas, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada Persada,2002, hlm. 391-392
[2]
[3]A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman
al-Quran, surah al-Baqarah – an-Nas,Jakarta:PT Radja Grafindo
Persada,2002,hlm. 248
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati,
2000,hlm.497
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-6,Jakarta: Lentera hati,
2002,hlm.355-357
[7] Kementrian agama RI, syaamil. Al-Quran miracle
the reference, saygma publishing, Bandung: 2010,hlm.466
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati,
2000,hlm.362
Tidak ada komentar:
Posting Komentar